LAPORAN INDIVIDU
Mata
Kuliah : Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Anak Balita
DEFINISI, PENYEBAB DAN
PENATALAKSANAAN PENANGANAN KEJADIAN IKUTAN PASKA IMUNISASI
Disusun
Oleh:
Nama
:Vina Novita Sari
NIM : 1610104029
Kelas : A2
UNIVERSITAS
AISYIYAH YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi
adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan
sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah
atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti
kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan
kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari
penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya.
Setelah
pelaksanaan imunisasi anak terkadang akan mengalami gejala seperti demam, Abses pada tempat suntikan dan
Limfadenitis. hal ini disebabkan Tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa
efek samping. kejadian seperti ini biasa disebut kejadia ikutan pasca imunisasi
atau lebih di kenal dengan KIPI.
Apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu
diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi
cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya
setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15
menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai
KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi
anafilaksis. Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000
dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara
1 juta dosis. Dalam beberapa kasus dengan keadaan tertentu KIPI dapat
menyebabkan resiko kematian, terutama pada bayi. hal ini yang menarik penulis
untuk menyusun sebuah makalah Mengenai kejadian ikutan pasca imunisasi, untuk
mempelajari penyebab dan penatalaksanaan penanggulangan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang
telah disampaikan, maka diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi ?
2. Apakah
Penyebab terjadinya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi ?
3. Bagaimana
Penatalaksanaan Penanganan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui
yang dimaksud dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi.
2. Mengetahui
Penyebab terjadinya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi.
3. Mengetahui
Penatalaksanaan Penanganan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi.
4. Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Neotanus, Bayi dan Balita.
BAB II
Pembahasan
2.1
Pengertian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Menurut Komite Nasional
Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian
sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada
keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis
kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain
pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta
infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau
resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi
terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau
kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang
vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects),
interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang
umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta
reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan
reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsure vaksin dengan latar
belakang genetic. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin
campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif
(neomisin, merkuri), atau unsure lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan
disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik
pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan
prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang
timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety
Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI
terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering
adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).
2.2
Penyebab Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Tidak semua
kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak
ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan KIPI
diperlukan keterangan mengenai: sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik, derajat
sakit resipien, besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu, apakah
penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti, apakah dapat
disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau
kesalahan prosedur.
KN PP KIPI
membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi
lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
A.
Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI
berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang
meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian
vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur
imunisasi, misalnya:
1. Dosis
antigen (terlalu banyak)
2. Lokasi
dan cara menyuntik
3. Sterilisasi
semprit dan jarum suntik
4. Jarum
bekas pakai
5. Tindakan
aseptik dan antiseptik
6. Kontaminasi
vaksin dan perlatan suntik
7. Penyimpanan
vaksin
8. Pemakaian
sisa vaksin
9. Jenis
dan jumlah pelarut vaksin
10. Tidak
memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap
kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus
KIPI berulang pada petugas yang sama.
B. Reaksi suntikan
Semua
gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan
langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,
sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual,
sampai sinkope.
C. Induksi vaksin (reaksi
vaksin)
Gejala KIPI yang
disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena
merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun
demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis
sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi
dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen
sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai
tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat
atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik
oleh pelaksana imunisasi.
D. Faktor kebetulan
(koinsiden)
Seperti telah
disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja
setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi
setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
E. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau
masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab
maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi
lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.
Setelah memahami
penyebab sebagai tenaga medis tentu harus juga memahami gejala kejadian ikutan
paska imunisasi. gejala klinis yang di timbulkan tidak selalu sama dan lebih
cenderung dipengaruhi oleh jenis munisasi yang diberikan untuk lebih jelasnya
akan disajikan dalam tabel 1 dan tabel 2 berikut:
Tanda dan gejala KIPI
Reaksi
KIPI
|
Gejala
KIPI
|
Lokal
|
|
SSP
|
|
Lain-lain
|
|
Tabel.1
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat
dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat,
serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat
gejalanya.
Gejala
Klinis KIPI sesuai jenis Imunisasi
Jenis
Vaksin
|
Gejala
Klinis KIPI
|
Saat
timbul KIPI
|
Toksoid Tetanus (DPT, DT, TT)
|
Syok anafilaksisNeuritis
brakhialKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
|
4 jam2-18 haritidak tercatat
|
Pertusis whole cell (DPwT)
|
Syok
anafilaksisEnsefalopatiKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
|
4 jam72 jamtidak tercatat
|
Campak
|
Syok
anafilaksisEnsefalopatiKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
|
4 jam5-15 haritidak tercatat
|
TrombositopeniaKlinis campak pada
resipien imunokompromaisKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
|
7-30 hari6 bulantidak tercatat
|
|
Polio hidup (OPV)
|
Polio paralisisPolio paralisis
pada resipien imunokompromaisKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
|
30 hari6 bulan
|
Hepatitis B
|
Syok anafilaksisKomplikasi akut
termasuk kecacatan dan kematian
|
4 jamtidak tercatat
|
BCG
|
BCG-it is
|
4-6 minggu
|
Tabel .2
Mengingat tidak ada satupun jenis
vaksin yang aman tanpa efek samping, maka diobsevasi, sehingga dipastikan tidak
terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan,
tetapi pada umumnya dilakukan observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan
kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka
waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
2.3
Penatalaksanaan Penanganan Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi
Pertolongan terhadap
KIPI adalah hal yang sangat penting, untuk itu seorang pelayan kesehatan harus
memahami tanda dan gejala yang ditunjukan sehingga dapat melkukan tindakan
pertolongan medis yang tepat, sesuai gejala yang ada. berikut ini adalah
penangan KIPI berdasarkan gejala yang timbul.
- Abses pada tempat suntikan. Bengkak tidak perlu diobati dikompres dengan air hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila luka besar dan bengkak di ketiak anjurkan ke dokter
- Limfadenitis. Limfadenitis BCG adalah timbulnya pembesaran kelenjar disekitar tempat suntikan BCG seperti diketiak atau di lipatan paha. Limfadenitis BCG merupakan efek samping yang sering dijumpai padavaksinasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang serius. Kejadiannya berkisar 1-2 per1000 vaksinasi. Penanganan limfadenitis BCG masih diperdebatkan. Di lapangan tidak jarang kelainan ini diberi obat antituberkulosis (Isoniasid, INH) meskipun hasilnya tidak memuaskan. Bahkan ada yang melakukan oprasi pengambilan kelenjar yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Pada tipe lirnfadenitis non-supuratif, tindakan eksisi tidak dianjurkan, sedangkan pada tipe supuratif,eksisi dapat dianjurkan. Tindakan eksisi dilakukan apabila dengan aspirasi tidak menunjukkan hasilyang baik, sudah terjadi bentuk sinus, atau kelenjarnya multipel. Selain itu tindakan eksisi lebihdiindikasikan pada kosmetik yaitu rnencegah pecahnya kelenjar secara tidak beraturan. Pemberianobat antituberkulosis setelah eksisi tidak memberikan hasil yang lebih baik. Kalau eksisi dianjurkan,maka tindakan insisi pada limfadenitis BCG tidak dianjurkan.
- BCG-itis. BCG, luka tidak perlu diobati cukup dibersihkan atau dikompres dengan air hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila luka besar dan bengkak di ketiak anjurkan ke dokter.
- DPT, bila panas atau rewel diberikan obat penurun panas dan berikan kompres dingin.
- Campak, bila timbul panas atau rewel berikan obat panas
- Shock anafilaksis. Shock anafilaksis adalah suatu syndroma klinis yang ditandai dengan adanya hipotensi, tacycardia, kulit yang dingin, pucat basah, hiperventilasi, perubahan status mental, penurunan produksi urine yang diakibatkan oleh reaksi anafilaksis. Penanganan Shock anafilaksis. 1. Baringkan penderita dalam posisi shock yakni tidur terlentang dengan tungkai lebih tinggi dari kepala pada alas yang keras 2. Bebaskan jalan nafas 3. Tentukan penyebab dan lokasi masuknya bahan alergen 4. Bila masuk melalui ekstremitas pasang torniquette 5. Berikan Adrenalin 1 : 1000 sebanyak 0,25 ml sub cutane 6. Monitor pernafasan dan hemodinamika 7. Berikan suplemen oksigen 8. Untuk kasus yang sedang berikan Adrenalin 1 : 1000 sebanyak 0,25 ml intra muskuler 9. Bila berat berikan Adrenalin 1 : 100- sebanyak 2,5 – 5 ml intra vena 10.Bila vena colaps berikan Adrenalin sub lingual atau trans tracheal 11.Berikan Aminophillin 5 – 6 mg/ kg BB Iv bolus diikuti 0,4 – 0,9 mg/kg BB/ menit per drip ini untuk bronchospasme yang persisten 12.Berikan cairan infus dengan berpedoman pada kadar hematokrit 13.Monitor hemodinamika dan pernafasan 14.Bila tidak membaik rujuk ke intitusi yang lebih tinggi
- Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema dalam keadaan tertentu dapat diberikan antihistamin, sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Gejala ini dalam beberapa saat akan membaik, bila terdapat faktor utama yang lain bisa berkepanjangan tetapi dalam ekadaan ini imuniasasi hanya dalam keadaan kebetulan (co-accident).
- Artralgia Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik sejenis paracetamol atau NSID lainnya
- Demam tinggi >38,5°C. Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik
- Episode hipotensif-hiporesponsif
- Osteomielitis Osteomielitis adalah proses inflamasi atau peradangan tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum. Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik sejenis paracetamol atau NSID lainnya. Harus segera dibawa ke dokter ortopedi
- Menangis menjerit yang terus menerus (3jam). Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik
- Neuritis brakhial. Dapat diberi vitamin neurotropik Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah
disampaikan mengenai kejadian ikutan paska imunisasi dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kejadian
ikutan paska imunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi
dalam masa 1 bulan hingga 42 setelah imunisasi.
2.
Yang menjadi penyebab
terjadinya kejadian ikutan paska imunisasi diantarnya adalah: Kesalahan program/teknik
pelaksanaan, Reaksi suntikan, induksi vaksin, kebetulan dan sebab lain yang
tidak diketahui.
3.
Pertolongan terhadap kejadia ikutan paska imunisasi harus disesuaikan
dengan tanda gejala, dan gejala klinis.
3.2 Saran
Dalam usaha memberikan pelayanan
kesehatan yang berkualitas, dari kesimpulan yang telah diambil penulis dapat
menyarankan agar :
1. Pemerintah
melalui Departemen Kesehatan dan Komite Nasional Pengkajian dan
Penanggulangan KIPI dapat menekan potensi terjadinya kejadian ikutan paska
imunisasi.
2.
Pelayan kesehatan terutama Bidan di daerah dapat terus
mengembangkan diri dalam memberi pertolongan terhadap kejadian ikutan paska
imunisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Depkes RI. 2011, Hasil Kajian Kejadian Ikutan Paska
Imunisasi (KIPI) Pada Kampanye Imunisasi Tambahan Campak dan Poli,
depkes.go.id, diakses 16 Mei 2017
Dokter Indonesia, 2010, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), klinikbayi.com, diakses tanggal 15 Mei 2017
Dokter Indonesia, 2014, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Serta Penanganannya, mediaimunisasi.com, diakses tanggal 15 Mei 2017
Dokter Indonesia, 2014, Inilah 5 Penyebab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), mediaimunisasi.com, diakses tanggal 15 Mei 2017
Hadinegoro, S.R., 2003. Immunogenicity and safety of DTwP
(Bio Farma) vaccine combined with recombinant Hepatitis b (GCVC) vaccine in
Indonesian children. Biofarma.
Heitjik, R.A., et al. 2002. Hepatitis B surface antigen
(HBsAg) derived from yeast cells (Hansenula polymorpha) used to estabilish an
influence of antigenic subtype (adw2, adr,ayw3) in measuring the immuno
response after vaccination. Vaccine, 20, 2191-6.
Galazka, A.M. 1993. Immunological basic for immunization.
WHO,EPI, GENEWA
Kristi, Maria, 2017, Mengenal Pengelompokan Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi, kompasiana.com, diakses
tanggal 16 Mei 2017
Meta box, 2012, Penyebab Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), infoimunisasi.com, diakses
tanggal 15 Mei 2017