BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun sedikitnya terdapat 100.000
anak yang mengalami dampak perceraian orang tua. Selain itu, Selama tahun 2011
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapatkan data sebanyak 2.239 kasus
penelantaran anak akibat dari perceraian dan kondisi orang tua yang
disharmonis. Kejadian perceraian di masyarakat cenderung terus meningkat,
dengan demikian akan semakin banyak anak yang mengalami perubahan hidup akibat
dari perceraian orang tua.
Keputusan orang tua untuk melakukan perceraian tak lepas dari dampak yang
akan diterima oleh anak. Perceraian orang tua salah satunya dapat berdampak
terhadap kualitas hidup anak. Walaupun pada dasarnya penyebab turunnya kualitas
hidup pada anak baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama belum diketahui
secara pasti. Namun hal ini dapat terjadi karena kondisi orang tua merupakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak.
Kenapa demikian, karena kualitas hidup anak bukan hanya diukur dari segi
fisik atau mental namun juga dari segi kesejahteraan ekonomi, konsumsi pangan,
kesehatan, pendidikan, perolehan informasi, kepedulian orang tua, interaksi
sosial dan perilaku menyimpang. Dengan kondisi orang tua yang tidak lengkap dan
kondisi anak yang cenderung menghadapi banyak masalah sehingga perkembangan
kehidupan anak dapat terganggu. Selain itu, interaksi anak dengan orang tua
merupakan salah satu faktor interpersonal yang dapat mempengaruhi kualitas
hidup anak. Adapun status pernikahan orang tua, pendidikan orang tua dan waktu
perceraian orang tua merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
kualitas hidup anak.
Adapun studi yang pernah dilakukan di Belanda, anak usia 12 tahun akan
mengalami masalah internal dan masalah eksternal yang lebih tinggi setelah
mengalami perceraian orang tua. Demikian pula dengan penelitian-penelitian
lain, yang secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dampak
perceraian orang tua akan lebih nampak pada anak usia pra-remaja dan
remaja.
1.2
Rumusan
Masalah
Bagaimana dampak perceraian
orang tua terhadap psikologis anak ?
1.3 Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
-
Untuk mengetahui
dampak psikologis perceraian orang tua terhadap anak
1.4 Manfaat
Penelitian
Berdasarkan tujuan tersebut diatas maka manfaat yang diharapkan dari penelitian
ini adalah dapat memberikan sumbangan dan informasi yang berarti bagi pengembangan
keilmuan di bidang psikologis anak.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Dampak Psikologis
Pada kamus
besar Bahasa Indonesia (2002, h. 234, 901) dampak diartikan sebagai pengaruh
kuat yang mendatangkan akibat baik negatif maupun positif, dan psikologi
diartikan sebagai sesuatu yang berkenan dengan psikologi atau bersifat
kejiwaan. Oleh Jones dan Dafis (Sarwono, 1995, h. 75) dampak psikologis
dikaitkan dengan tindakan dan efek. Tindakan (act) yang dimaksud adalah
keseluruhan respon (reaksi yang mencerminkan pilihan pelaku) dan yang mempunyai
akibat terhadap lingkungannya. Sedangkan efeknya yang dimaksud adalah efek yang
diartikan sehingga perubahan – perubahan nyata yang dihasilkan oleh tindakan.
Keterkaitannya dengan stimulus pada pemunculan tingkah laku seseorang, dampak
psikologis dapat dipandang sebagai hasil dari adanya stimulus dan respon yang
bekerja pada diri seseorang (Watson, dalam Sarwono, 1995, h. 5).
Adanya
dampak psikologis ini pada umumnya juga dapat ditinjau secara intrapsikis,
yaitu proses – psoses dan dinamika mental dan psikologis yang mendasari
perilaku (Irwanto, dkk, 2002, h. 21). Lebih lanjut Dollard dan Miller
(Supratiknya, 1993, h. 212-213) menyatakan bahwa respon yang dibentuk seseorang
akan stimulus yang ada itu ada dua macam yaitu covert behavior dan overt
behavior.Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian dampak psikologis adalah suatu bentuk perilaku positif maupun
negatif yang muncul dalam bentuk overt behaviour dan covert behavior sebagai
hasil dari adanya stimulus yang bekerja pada diri seseorang.
W. Allport ( 1961 ) dalam Psikologi
Remaja ( 2011 : 81 )
Ciri-ciri psikologis :
a. Pemekaran diri sendiri yang ditandai dengan kemampuan
seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya
sendiri juga.
b. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif yang
ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri dan
kemampuan untuk menangkap humor termasuk yang menjadikan dirinya sendiri
sebagai sasaran.
c. Memiliki falsafah hidup tertentu
Monks dalam Psikologi
Perkembangan karya Ahmadi, Abu dan Munawar Sholeh ( 2005 : 2
) menyatakan bahwa perkembangan psikologis merupakan suatu proses yang
dinamis. Dalam proses tersebut sifat individu dan sifat lingkungan akhirnya
menentukan tingkah laku apa yang akan diaktualisasi dan dimanifestasi. Umur
kalender disini bukan merupakan suatu variable yang bebas, melainkan sebagai
suatu dimensi waktu, mengandung kemungkinan untuk mengatur bahan-bahan ( data )
yang ada.
2.1.2 Macam –
macam Dampak Psikologis
Menurut
Seligman (Peterson, 1993, h. 209) ketidakberdayaan adalah kondisi psikologis
yang disebabkan oleh adanya gangguan motivasi, proses kognisi dan emosi sebagai
hasil pengalaman di luar kontrol organisme. Hal ini ditegaskan oleh Lau (Smet,
1994, h. 76) bahwa ketidakberdayaan merupakan suatu kondisi yang didapat dari
adanya gangguan motivasi, proses kognisi. Ide dasar yang melatarbelakangi
ketidakberdayaan yang dipelajari adalah bahwa orang mungkin sadar tidak adanya
kontrol terhadap apa yang terjadi pada beberapa situasi. Kesadaran ini timbul
melalui kurangnya contingency antara usaha – usaha terdahulu untuk
mengubah situasi dengan hasil yang berhubungan dengan usaha – usaha tersebut.
Selanjutnya
Drever (1988, h. 441) mengemukakan bahwa rasa malu (shame) merupakan
suatu reaksi emosi yang kompleks karena mencakup perasaan diri yang negatif
atau perasaan yang tidak dapat disetujui dari mutu yang rendah atau kekuasaan.
Oleh Sarafino, dkk (Smet,1994, h. 107) stres dikonseptualisasikan dari berbagai
macam sudut pandang. Pertama stres dengan stimulus (rangsang), kedua stres
sebagai respon yang memfokuskan pada reaksiseseorang terhadap stresor, dan
stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan. Untuk jenis stres
yang ketiga ini, stres diartikan tidak hanya sebagai suatu stimulus atau respon
saja, tetapi juga meliputi proses dimana seseorang dapat menjadi suatu
agentaktif yang dapat mempengaruhi stressor melalui strategi – strategi
perilaku, kognitif dan emosional.
2.1.3 Pengertian Anak
Pada umumnya orang berpendapat bahwa
masa anak – anak merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan sehari
– hari dimana individu relatif tidak berdaya dan bergantung pada orang lain.
Bagi kebanyakan anak (young children) uraian selanjutnya digunakan kata
“anak - anak” yang menunjuk pada pengertian anak masih anak-anak. Masa anak –
anak seringkali dianggap tidak ada akhirnya sewaktu mereka tidak sabar menunggu
saat yang didambakan yakni pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan anak
anak tetapi orang dewasa. Masa anak anak dimulai setelah melewati masa bayi
yang penuh ketergantungan yakni kira kira usia 2 tahun sampai anak matang
secara seksual kira – kira 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk
pria (Hurllock, 1999,h.108).
Dari pendapat diatas dapat disampaikan
bahwa pengertian anak adalah masa dimana individu setelah melewati masa bayi
yakni masa dimana penuh ketergantuangan pada orang lain masa ini adalah masa
yang terpanjang dalam rentang kehidupan saat dimana individu relatif tidak
berdaya dan penuh ketergantungan.
2.1.4 Tugas – Tugas Perkembangan Anak
Menurut Hurllock (1993,h:10)
mengatakan bahwa tugas perkembangan anak usia 9 tahun hingga 14 tahun antara
lain :
1. Belajar membedakan benar dan salah
dan mulai mengembangkan hati nurani.
2. Mengembangkan sikap terhadap
kelompok – kelompok sosial.
3. Mengembangkan pengertian –
pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari – hari.
4. Membangun sikap sehat mengenai diri
sendiri sebagai mahluk yang sedang tumbuh.
2.1.5
Pengertian Perceraian Orangtua
Perceraian (divorce)
merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri
dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai
suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak
ada ikatan yang resmi. Mereka yang telah bercerai tetapi belum memiliki anak,
maka perpisahan tidak menimbulkan dampak traumatis psikologis bagi anak-anak.
Namun mereka yang telah memiliki keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan
masalah psiko-emosional bagi anak-anak (Amato, 2000; Olson & DeFrain,
2003). Di sisi lain, mungkin saja anak-anak yang dilahirkan selama mereka hidup
sebagai suami-istri, akan diikut- sertakan kepada salah satu orang tuanya
apakah mengikuti ayah atau ibunya (Olson & DeFrain, 2003).
Menurut
Newman & Newman (1984) ada empat faktor yang memberikan kontribusi terhadap
perceraian, yaitu :
a.
Usia saat menikah
b.
Tingkat pendapatan
c.
Perbedaan perkembangan sosiol emosional diantara pasangan
Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di bandingkan laki-laki.
Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di bandingkan laki-laki.
d.
Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian. Ada sejumlah
bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai cenderung
mengalami perceraian dalam kehidupan rumah tangganya.
Menurut
Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
a.
Ketidakharmonisan dalam berumah tangga
Ketidakharmonisan
merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai.
Ketidakhrmonisan disebabkan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain,
ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit
disatukan dan lain-lain.
b.
Krisis moral dan akhlak
Perceraian juga sering memperoleh
landasan berupa krisis moral dan akhlak misalnya kelalaian tanggung jawab baik
suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, pengaiayaan, pelecehan dan
keburukan perilaku lainnya misalnya mabuk-mabukkan, terlibat tindak
kriminal, bahkan utang piutang.
c.
Perzinahan
Terjadinya
perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami
maupun istri merupakan penyebab perceraian. Di dalam hukum perkawinan
Indonesia, perzinahan dimasukkan kedalam salah satu pasalnya yang dapat
mengakibatkan berakhirnya percereaian.
d.
Pernikahan tanpa cinta
Alasan lain yang kerap dikemukakan
baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa
perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.
2.1.5 Dampak Perceraian Orangtua
Terhadap Psikologis Anak
Setiap pernikahan membutuhkan
pengharapan, terutama sebuah pernikahan yang telah dikaruniai anak. Anak adalah
anugerah sekaligus tantangan. Memiliki seorang anak membuat orang tua lebih
memahami bahwa seorang anak sangat memerlukan dukungan dan kasih sayang karena
ketergantungan anak pada orang tua lebih besar. Salah satu tugas perkembangan
yang terpenting pada masa anak-anak dan ini merupakan tugas perkembangan paling
sulit adalah belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orang tua.
Hubungan emosional yang terjadi pada masa bayi harus diganti dengan orang tua
hubungan yang lebih matang.
Seperti yang
dikatakan Spoth, Tricia, Lillehoj, Jung, dan Mikler (dikutip dalam Dermawan
& Sutaryo, 2011), “Perceraian dapat membuat remaja berkonflik dengan
orangtua, merasa diabaikan, dan timbul sikap keluarga yang memberontak” (h.
202).
Perceraian
membawa dampak buruk bagi anak. Dengan merasa diabaikan, anak akan berpikiran
untuk mecari sesuatu yang dapat membuatnya bahagia. Dengan kata lain anak bisa
terjerumus kedalam hal-hal yang negatif. Hal itu terjadi pada salah satu
rentang usia remaja 11-14 tahun, dimana anak sudah menyadari keadaan keluarga
yang berubah akibat perceraian. Pada saat terjadinya perceraian ibu atau ayah
yang tinggal dirumah yang berbeda dengan anak akan menyebabkan merenggangnya
hubungan antara orangtua dengan anak.
Kasih sayang orang tua pada anak
dapat menurun apabila pasangan suami istri dalam membina hubungan dalam rumah
tangga terjadi konflik dan konflik tersebut berujung pada proses perceraian.
Mussen (1992,h.418) berpendapat
bahwa dampak umum dari perceraian adalah sebagai berikut :
a. Ibu harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup anak-anak dan disrinya sendiri, dengan kata lain harus menjadi
orang tua tunggal.
b. Komentar sosial mengeluhkan bubarnya
keluarga mengakibatkan adanya konsesual bagi anak-anak generasi mendatang.
c. Perceraian dianggap sebagai struktur
yang keluar dari norma sehingga dianggap menyimpang dan abnormal.
d. Anak-anak tanpa ayah dapat menjadi
tergantung, agresif was-was terhadap perpisahan, kurang otonom dan kurang
tertarik terhadap permainan yang bersifat maskulin.
Perceraian tentu saja akan
menimbulkan dampak bagi anak. Menurut Cole (2003,h. 4-6) mengatakan ada 6
dampak negatif utama yang dirasakan oleh anak-anak akibat perceraian orang tua
yaitu :
a. Penyangkalan
Penyangkalan adalah salah satu cara yang sering digunakan
seorang anak untuk mengatasi luka emosinya dan melindungi dirinya dari perasaan
dikhianati, kemarahan dan perasaan dikhianati. Penyangkalan yang berkepanjangan
merupakan indikasi bahwa anak yakin dialah penyebab perceraian orang tuanya.
b. Rasa Malu
Rasa malu merupakan suatu emosi yang berfokus pada kekelahan
atau pelanggaran moral, membungkus kekurangan diri dengan membuat kondisi pasif
atau tidak berdaya.
c. Rasa Bersalah
Rasa bersalah adalah perasaan melakukan kesalahan sebagai
suatu sikap emosi umumnya menyangkut konflik emosi yang timbul dari kontroversi
atau yang dikhayalkan dari standar moral atau sosial, baik dalam tindakan atau
pikiran (Drever, 1998,h.187). Perasaan ini timbul karena adanya harapan yang
tidak terpenuhi, serta perbuatan yang melanggar norma dan moral yang berlaku.
Serta adanya perbuatan yang bertentangan dengan kata hati. Anak biasanya lebih
percaya bahwa perceraian orang tua disebabkan oleh diri mereka sendiri,
walaupun anak-anak yang lebih besar telah mengetahui bahwa perceraian itu bukan
salah mereka, tetap saja anak merasa bersalah karena tidak menjadi anak yang
lebih baik.
d. Ketakutan
Anak menderita ketakutan karena akibat dari ketidakberdayaan
mereka dan ketidakamanan yang disebabkan oleh perpisahan kedua orang tuanya.
Anak menunjukkan ketakutannya ini dengan cara menangis atau berpegangan erat
pada orang tuanya atau memiliki kebutuhan untuk bergantung pada benda
kesayangannya seperti boneka.
e. Kesedihan
Sedih adalah reaksi yang paling mendalam bagi anak – anak
ketika orang tuanya berpisah. Anak akan menjadi sangat bingung ketika hubungan
orang tuanya tidak berjalan baik terutama jika mereka terus menerus menyakiti,
entah secara fisik maupun vertikal.
f. Rasa
marah atau kemarahan
Setiap anak mempunyai tanggapan yang berbeda-beda mengenai
perceraian, sehingga perceraian orang tua akan menimbulkan dampak psikologis
dalam diri anak (David Stoop, 2003, h.22-23)
2.2
Kerangka Pikir
Dampak dari perceraian orang tua
sangat besar bagi anak-anak diantaranya mereka menjadi pendiam dan sulit untuk
bergaul, timbul rasa malu terhadap teman-teman sebayanya yang orang tuanya
masih lengkap. Kesedihan yang berkepanjangan dengan menyalahkan diri sendiri
akibat perceraian tersebut, mereka seolah-olah menyangkal bahwa orang tuanya
tidak bertengkar.
Selain mempunyai dampak yang
mengakibatkan anak-anak menjadi pemurung. Perceraian juga mempunyai dampak yang
sangat besar bagi psikologis anak mereka mempunyai rasa bersalah yang sangat
besar akibat perceraian tersebut. Timbul kecemasan dan ketakutan yang berakibat
fatal bagi mereka kelak saat mereka sudah beranjak dewasa, dan hal tersebut
tidak bagus untuk berkembangan anak-anak karena mereka belum mengetahui benar
apa itu makna perceraian. Akibat dari perpisahan orang tua, biasanya anak-anak
akan lebih cenderung sangat dekat kepada orang yang dia ikuti. Dan hal itu bisa
memicu anak-anak untuk membenci salah satu orang tuanya.
2.3
Hipotesis
Berdasarkan kerangka pikir diaras, maka dinyatakan hipotesis
bahwa: “Ada dampak perceraian orang tua
terhadap psikologi anak”
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Dalam Penelitian “Dampak Psikologis
Perceraian Orang Tua Terhadap Psikologis Anak Studi Kasus Di Desa Nusa Tunggal
Kecamatan Belitang 3” peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang
disebut dengan metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati. (Bogdan dan Taylor dalam buku Moeleong,
2002).
Menurut Denzin dan Lincoln
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan
maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada. (Moleong, 2005: 5)
Menurut Bogdan dan Taylor ,
penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. (Margono, 2000: 36).
3.2
Sumber Data
Sumber data menyatakan berasal dari
mana data penelitian dapat diperoleh. Yang menjadi sumber data penelitian dalam
penelitian ini adalah : data primer dan data sekunder.
1.
Data
Primer adalah hasil wawancara dengan responden berupa kata-kata, tindakan,
keterangan serta informasi yang dikumpulkan serta mengamati dan mencatat
kejadian yang terjadi dilapangan.
2. Data sekunder adalah dokumen-dokumen
seperti Studi Pustaka digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang
berhubungan menunjang dengan permasalahan penelitian. Data dan informasi
diperoleh melalui studi daftar pustaka melalui buku, lapangan penelitian, karya
ilmiah, dokumenp-dokumen, arsip pihak terkait, catatan-catatan, artikel dan
koran.
3.3
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data yaitu pencairan data yng diperlukan, yang dilakukan terhadap berbagai
jenis data dan berbagai bentuk data yang ada pada lapangan penelitian serta
melakukan pencatatan lapangan.
3.4
Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini
dikumpulkan dengan berbagai cara yang disesuikan dengan informasi yang
diinginkan, antara lain dengan :
1. Wawancara
Wawancara adalah cara untuk
memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai.
(Hanitijo, R 1988:59). Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan
seseorang, dalam wawancara bisa dilakukan secara individu maupun dalam bentuk
kelompok, sehingga peneliti mendapatkan data informasi yang otentik.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara
sederhana untuk menggali data yang berkisar mengenai dampak perceraian orang
tua terhadap psikologis anak.
Wawancara juga dilakukan dengan
orang-orang yang mengerti tentang permasalahan psikologis anak.
2. Observasi
Observasi atau yang disebut pula
pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap suatu obyek dengan
menggunakan seluruh alat indra. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui
penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap (Arikunto, 1997:133).
Observasi dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti.
Pengamatan dalam penelitian ini adalah pengamatan terlihat (participant
observation), pengamat menjadi bagian dari konteks sosial yang sedang
diamati. Selama kehadiran pengamat tidak mengubah situasi sosial yang ada
(Hanitijo R 1988:55).
3. Tehnik studi kepustakaan,
yaitu dengan cara mengumpulkan
informasi dan data yang diperlukan melalui dokumen-dokumen, buku-buku, diktat
dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Yang
berkaitan dengan dampak perceraian terhadap psikologis anak.