cari

Meningkatkan Kompetensi Siswa




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat yang agraris ke masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya pada tuntutan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat,yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). Keempat, munculnya kolonialisme baru di bidang iptek dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik. Dengan demikian kolonialisme kini tidak lagi berbentuk fisik, melainkan dalam bentuk informasi. Berkembangnya teknologi informasi dalam bentuk komputer dan internet, sehingga bangsa Indonesia sangat bergantung kepada bangsa-bangsa yang telah lebih dulu menguasai teknologi informasi. Inilah bentuk kolonialisme baru yang menjadi semacam virtual enemy yang telah masuk ke seluruh pelosok dunia ini.
Kemajuan ini harus dapat diwujudkan dengan proses pembelajaran yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, profesional, unggul, berpandangan jauh ke depan (Visioner), memiliki percaya dan harga diri yang tinggi. Untuk mewujudkan hasil di atas diperlukan strategi yang tepat, diantaranya adalah bagaimana strategi mengembangkan kompetensi siswa berdasarkan kemampuan, sikap, sifat serta tingkah laku siswa sehingga membuat siswa menyenangi proses pembelajaran. Peningkatan kompetensi siswa tidak bisa dipandang secara pragmatis, terpisah dari bagian bagiannya yang utuh. Peningkatan kompetensi siswa harus dilihat secara pendekatan sistem, menyeluruh, utuh dan tidak terpisah-pisah dari bagian-bagiannya sehingga dapat dilihat progress reports terhadap laju perkembangan kompetensi siswa seperti yang diharapkan. Selain dari pada itu, pengembangan kompetensi siswa dengan konsep pendekatan sistem terutama sistem manajemen berbasis sekolah akan sangat mudah dan efektif untuk mengevaluasi sistem apa yang perlu ditinjau, dimodifikasi ataupun diubah menurut kebutuhan.
Manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah sistem yang memberikan hak atau otoritas khusus kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan tuntutan ataupun kebutuhan masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Berdasarkan analisa di atas, bagaimanakah wujud masyarakat Indonesia baru yang seharusnya ?. Jawabannya adalah masyarakat yang berpendidikan (Educated Sociaty). Oleh karena itu setiap lembaga pendidikan, khususnya dalam menghadapi masa depan harus ditujukan pada reformasi kelembagaan secara total, agar pendidikan nasional memiliki kemampuan untuk melaksanakan peran, fungsi dan misinya secara optimal.

1.2 Tujuan
Dari latar belakang yang telah di uraikan maka, yang menjadi  tujuan dari karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.    Menjelaskan bagaimana kompetensi siswa dalam Sekolah Unggulan?.
2.    Menjelaskan strategi pengembangan kompetensi siswa.
.


BAB II
ISI
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Kompetensi
Kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam konsep pelatihan yang berbasis kompetensi dijelaskan bahwa kompetensi merupakan gabungan antara keterampilan, pengetahuan dan sikap. Kompetensi digunakan untuk melakukan penilaian terhadap standar, memberikan indikasi yang jelas tentang keberhasilan dalam kegiatan pengembangan, membentuk sistem pengembangan dan dapat digunakan untuk menyusun uraian tugas seseorang. Standar kompetensi disusun sedemikian rupa mengacu kepada kesepakatan internasional tanpa harus mengabaikan berbagai aspek dan budaya yang bersifat lokal atau nasional. Standar kompetensi yang telah ada hendaknya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak terutama dunia pendidikan dalam hal peningkatan kemampuan dasar siswa serta penyusunan kurikulum.
2.1.2     Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Malen dkk. dalam Abu-Duhou (2002) manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan. Manajemen sekolah yang selama ini terstruktur dari pusat telah menghambat kran komunikasi atau setidaknya terjadinya distorsi informasi antara pusat dan daerah, sehingga menimbulkan mis-implementation pada tataran riil di sekolah. Hal inilah yang menjadi bahan dilahirkannya sebuah sistem manajemen yang mampu menanggulangi permasalahan tersebut, yaitu suatu manajemen yang diberi kewenangan penuh kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam batas-batas yang rasional.
Candoli dalam Abu (2002) menjelaskan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan suatu cara untuk "memaksa" sekolah mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi menurut justifikasi sekolah. Konsep ini menerangkan bahwa ketika sekolah diberi tanggung jawab penuh dalam mengembangkan program-program kependidikannya yang bertujuan melayani kebutuhan-kebutuhan para stakeholder maka pihak sekolah akan dipaksa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
2.1.3     Otoritas Sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Secara khusus hal-hal yang di desentralisasikan adalah yang secara langsung berhubungan dengan para peserta didik, seperti keputusan tentang program pendidikan, alokasi waktu, dan kurikulum. Tetapi menurut Caldel dan Spinks dalam Abu (2002) membagi beberapa hal yang menjadi otoritas sekolah dalam MBS, diantaranya yaitu:
1.  Pengetahuan (Knowledge); otoritas keputusan berkaitan dengan kurikulum, tujuan dan sasaran pendidikan.
2.  Teknologi (Technology); otoritas mengenai srana dan prasaran pembelajaran
3.  Kekuasaan (Power); kewenangan dalam membuat keputusan.
4.  Material (Material); kewenangan mengenai penggunaan fasilitas, pengadaan dan peralatan alat-alat sekolah.
5.  Manusia (People) kewenangan atas keputusan mengenai sumber daya manusia, pengembangan profesionalisme dan dukungan terhadap proses pembelajaran.
6.  Waktu (Time); kewenangan mengalokasikan waktu
7.  Keuangan (Financial); kewenangan dalam mengalokasikan dana pendidikan.


Sedangkan Thomas dalam Abu (2002) mengelompokkan kewenagan sekolah dalam manajemen berbasisi sekolah dalam empat hal, yaitu:
1.    Penerimaan (admission); kewenangan untuk menentukan siswa mana yang akan diterima diseklolah.
2.    Penilaian (Assessment); kewenangan untuk menentukan berapa siswa yang akan dinilai.
3.    Informasi (Information); kewenangan untuk menseleksi data mengenai kinerja sekolah dan mempublikasikannya.
4.    Pendanaan (Funding); kewenangan untuk menentukan uang masuk bagi penerimaan siswa.

2.2     PEMBAHASAN
2.2.1 Kompetensi Siswa
Untuk merespons berbagai kondisi sebagaimana yang telah diuraikan pada pendahuluan di atas, maka salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan SDM yang berkualitas setara dengan standar internasional. Untuk melaksanakan sistem pendidikan yang baik dibutuhkan suatu standar kompetensi yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai patokan kinerja yang diharapkan. Salah satu bentuk sistem pendidikan yang mampu meningkatkan kompetensi siswa adalah sistem manajemen berbasis sekolah yang memberi hak sepenuhnya atau otonomi kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan kondisi, lingkungan dan kebutuhan tempat di mana sekolah berada.
2.2.2     Strategi Pengembangan Kompetensi Siswa
Dunia pendidikan dewasa ini yang semakin banyak menghadapi tantangan, salah satu diantaranya ialah bahwa pendidikan itu berlangsung dalam latar lingkungan yang dibuat-buat, karena pendidikan itu harus membina tingkah laku yang berguna bagi individu di masa akan datang dan bukan waktu sekarang. Akibat dari latar lingkungan yang dibuat adalah terjadinya suasana pembelajaran yang tidak menyenangkan. Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan adalah sekolah masih menggunakan cara yang bersifat aversif, di mana para siswa menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya terutama untuk menghindari stimulus-stimulus aversif seperti kecaman guru, ejekan di muka kelas, menghadap kepala sekolah jika tidak membuat tugas di rumah.
1.    Untuk memecahkan masalah untuk perbaikan pendidikan itu pernah diusulkan beberapa pemecahan masalah yang diantaranya:
1.    Mendapatkan guru yang berkualitas
2.    Mencari terobosan baru untuk menandingi sekolah unggul
3.    Menaikkan standar pembelajaran
4.    Mereorganisasi kurikulum.
Akan tetapi pemecahan masalah yang pernah ditawarkan tersebut tidak menyentuh esensi permasalahan dunia pendidikan itu sendiri. Menurut Skinner satu hal yang perlu dilakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut adalah bagaimana guru bertanggung jawab mengembangkan pada siswa tingkah laku verbal (kompetensi) atau kemampuan siswa yang merupakan pernyataan keterampilan dan pengetahuan mata pelajaran. Konkritnya Skinner menjelaskan yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa atau kompetensi siswa adalah:
1.    Membangun khazanah tingkah laku verbal dan non verbal yang menunjukkan hasil belajar.
2.    Menghasilkan dengan kemungkinan yang besar, tingkah laku yang disebut minat, antusiasme dan motivasi untuk belajar.
Sehingga dengan tugas seperti ini pembelajaran itu berfungsi memperlancar pemerolehan pola-pola tingkah laku verbal dan nonverbal yang perlu dimiliki setiap siswa. Menurut Weiner, dengan teori atribusinya, satu sumbangan penting untuk pendidikan adalah berkenaan dengan analisa terjadinya interaksi di kelas. Hal yang penting diperhatikan dalam interaksi di kelas dalam konteks proses pembelajaran serta dalam rangka meningkatkan kemampuan atau kompetensi siswa ialah ciri siswa, ciri-ciri siswa yang perlu dipertimbangkan ialah perbedaan perseorangan, kesiapan untuk belajar dan motivasi:
1.    Perbedaan Perseorangan
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah tingkat perkembangan siswa dan tingkat rasa harga diri siswa. Untuk mengimbangi adanya perbedaan perseorangan dalam proses pembelajaran diantaranya dapat dilakukan pengajaran dengan kelompok kecil (cooperative learning), tutorial, dan belajar mandiri serta belajar individual.
2.    Kesiapan untuk belajar
Kesiapan seorang siswa dalam kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi hasil pembelajaran yang bermanfaat baginya. Karena belajar sifatnya kumulatif, kesiapan untuk belajar baru mengacu pada kapabilitas, dimana kesiapan untuk belajar itu meliputi keterampilan-keterampilan yang rendah kedudukannya dalam tata hierarki keterampilan intelektual.
3.    Motivasi
Ciri khas dari teori-teori belajar ialah memperlakukan motivasi sebagai suatu konsep yang dihubungkan dengan asas-asas untuk menimbulkan terjadinya belajar pada diri siswa. Konsep ini memusatkan perhatian pada dilakukannya manipulasi lingkungan yang bisa mendorong siswa seperti membangkitkan perhatian siswa, mempelajari peranan perangsang atau membuat agar bahan ajar menarik bagi siswa.
Ketiga hal di atas harus diperhatikan yang dibarengi dengan penciptaan suasana kelas yang menyenangkan sehingga tingkah laku, respons yang dikeluarkan oleh siswa menghasilkan suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan akibat dari stimulus lingkungan yang dimanipulasi tersebut. Di samping ketiga hal di atas yang perlu diperhatikan dalam konteks peningkatan kompetensi siswa, maka kurikulum juga merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kompetensi siswa dalam pembelajaran. Untuk mengimbangi peningkatan kemampuan siswa dalam konteks tingkah laku, maka kurikulum juga perlu menjadi perhatian sehingga siswa benar-benar memiliki kompetensi yang sangat memadai.
Kurikulum saat ini, terutama kurikulum pendidikan nasional akan dikembangkan apa yang dinamakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (Competency Based Curriculum). Dalam konsep ini, kurikulum harus dikuasai oleh siswa setelah ia menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satuan pendidikan. Materi kurikulum harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat. Di samping itu kurikulum yang dikembangkan harus berlandaskan pendidikan etika dan moral yang dikembangkan dalam mata pelajaran agama dan mata pelajaran lain yang relevan.
Selain itu kurikulum harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang sebagai dampak dari perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat. Kurikulum hanya bersifat pedoman pokok dalam kegiatan pembelajaran siswa dan dapat dikembangkan dengan potensi siswa, keadaan sumber daya pendukung dan kondisi yang ada. Semua alternatif solusi diatas tidak ada artinya jika tidak dimanajemeni atau dikelola dengan profesional. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem manajemen berbasis sekolah, di mana pihak sekolah memiliki otoritas yang cukup untuk mengelola konsep-konsep yang akan diterapkan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa.
Masalah kurikulum, tujuan pendidikan, keputusan atau kebijakan sekolah, fasilitas yang akan digunakan, pengembangan SDM sekolah, pengaturan waktu dan biaya pendidikan, haruslah sepenuhnya dikelola oleh sekolah sehingga langkah-langkah teknis di atas dapat terwujud.

2.3 Kesimpulan
Untuk meningkatkan kompetensi siswa ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya, ciri-ciri siswa antara lain, perbedaan perseorangan, kesiapan belajar dan motivasi yang dibarengi oleh pemanipulasian suasana pembelajaran menjadi lebih disukai oleh siswa sehingga dengan mempertimbangkan kondisi ini apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan. Akan tetapi jika menspesifikasi pendidikan ke dalam tingkah laku sama dengan membatasi guru menjadi upaya untuk merubah tingkah laku siswa. Pada hal, pendidikan tidak hanya sebatas tutorial yang akan mengakibatkan pendidikan kurang manusiawi dan terlalu mekanistik. Akan tetapi pendidikan lebih dari itu, di mana pendidikan memerlukan tingkat kecerdasan dan kebebasan berpikir yang tinggi, kompetensi dan moral atau tingkah laku yang kompleks untuk mengarunginya.
Secara kelembagaan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa perlu sebuah sistem yang mampu mengakomodir tujuan tersebut. Salah satu bentuk dari sistem tersebut adalah manajemen berbasis sekolah yaitu sebuah sistem manajemen yang memberi keluasan kepada pihak sekolah untuk mengelola sekolah masing-masing menurut kebutuhan, kondisi, dan tuntutan lingkungan di mana sekolah tersebut berada.









DAFTAR PUSTAKA

Abu, D. I. 2002. School Base Management. Diterjemahkan oleh Noryamin Aini, Suparto, dan Abas Al-Jauhari. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

Dahar, R. W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud.

Gredler, E. B. M. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Diterjemahkan Munandir. Jakarta: CV. Rajawali.

Sudjana, N. 2001. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar (Menggagas Paradigma Baru Pendidikan). Jakarta: Paramadina.

Suryabrata, S. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Snelbecker, G. E. 1974. Learning Theory, Intructional Theory, and Psycoeducational Design. New York: McGraw-Hill Book Company.