BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Masa
remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai
16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan,
dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik, psikis, maupun
secara sosial. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa
krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada
kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang
mengganggu.
Melihat
kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan
sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan
norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja.
Kenakalan
remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku
menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena
terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari
nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai
sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan
konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur
baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti
telah menyimpang. Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu
membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja,
diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada, perilaku
menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan. Hal
yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang
melakukan penyimpangan, padahal ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan.
Soekanto (1988:45) mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya
mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk
melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak
menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal
biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Kenakalan-kenakalan
yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat beragam mulai dari
perbuatan yang amoral dan anti sosial tidak dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah,
membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang
sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum
seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan
terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media-media masa.
Hampir
setiap hari kasus kenakalan remaja selalu kita temukan di media massa, dimana
sering terjadi di Kota-kota besar, salah satu wujud dari kenakalan remaja
adalah tawuran yang dilakukan oleh para pelajar atau remaja. Data di Kecamatan
Kwandang tahun 2006 tercatat 27 kasus perkelahian antara remaja. Tahun 2007
meningkat menjadi 13 kasus dengan melukai 4 pelajar, tahun 2008 terdapat 34
kasus kenakalan remaja. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan
korban cenderung meningkat. Lebih jauh dijelaskan bahwa dari beberapa kasus
pencurian selama dua tahun terakhir, 16 % di antaranya dilakukan oleh remaja,
selain itu diperkirakan bahwa jumlah prostitusi anak juga cukup besar.
Banyak
penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari
keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemampuan dalam
menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan di sekitarnya.
Anak yang mempunyai penyesuaian diri yang baik di sekolah, biasanya memiliki
latar belakang keluarga yang harmonis, menghargai pendapat anak dan hangat. Hal
ini disebabkan karena anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan
mempersepsi rumah mereka sebagai suatu tempat yang membahagiakan karena semakin
sedikit masalah antara orangtua, maka semakin sedikit masalah yang dihadapi
anak, dan begitu juga sebaliknya jika anak mempersepsi keluarganya berantakan
atau kurang harmonis maka ia akan terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi
oleh orangtuanya tersebut. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi perilaku
kenakalan pada remaja adalah konsep diri yang merupakan pandangan atau
keyakinan diri terhadap keseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun
kekurangan diri, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan
perilaku yang ditampilkan.
Masa
remaja merupakan saat individu mengalami kesadaran akan dirinya tentang
bagaiman pendapat orang lain tentang dirinya. Pada masa tersebut kemampuan
kognitif remaja sudah mulai berkembang, sehingga remaja tidak hanya mampu
membentuk pengertian mengenai apa yang ada dalam pikirannya, namun remaja akan
berusaha pula untuk mengetahui pikiran orang lain tentang tentang dirinya
(Pratidarmanastiti, 1991 : 182). Oleh karena itu tanggapan dan penilaian orang
lain tentang diri individu akan dapat berpengaruh pada bagaimana individu
menilai dirinya sendiri. Remaja nakal biasanya mempunyai sifat memberontak,
ambivalen terhadap otoritas, mendendam, curiga, implusif dan menunjukan kontrol
batin yang kurang. Sifat–sifat tersebut mendukung perkembangan konsep diri yang
negatif. Remaja yang didefinisikan sebagai anak nakal biasanya mempunyai konsep
diri lebih negatif dibandingkan dengan anak yang tidak bermasalah. Dengan
demikian remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis dan
memiliki konsep diri negatif kemungkinan memiliki kecenderungan yang lebih
besar menjadi remaja nakal dibandingkan remaja yang dibesarkan dalam keluarga
harmonis dan memiliki konsep diri positif.
Mencermati uraian di
atas penulis tertarik untuk mengkaji masalah ini dalam suatu penyusunan karya
ilmiah ini dengan judul: Pengaruh Keharmonisan Keluarga
terhadap Perilaku Kenakalan Remaja
1.2 Rumusan
Masalah
Mencermati
uraian pada latar belakag maka dapat rumuskan masalah sebagai berikut:
a. Apa
saja faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga?
b. Apa
saja faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja?
c. Bagaimana
hubungan keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja?
1.3 Tujuan
a. Menjelaskan
apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga?
b. AMenjelaskan
apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja?
c. Menjelaskan
bagaimana hubungan keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan
remaja?
1.4
Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian penulis mempergunakan metode
kepustakaan atau literatur. Yaitu metode penelitian dengan cara mengumpulkan
data yang bersumber dari media buku, Koran, artikel dan situs atau web
internet.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian
Remaja
WHO
(dalam Sarwono, 2002:23) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada
tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan
usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai
berikut:
(a)
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
(b) Individu mengalami perkembangan
psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
(c)
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan
yang relatif lebih mandiri.
Monks
(1999:34) sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara
12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa
remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Senada dengan pendapat
Suryabrata (1981: 45) membagi masa remaja menjadi tiga, masa remaja awal 12-15
tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun.
Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999:112) yang membagi masa remaja menjadi dua
bagian, yaitu masa remaja awal 13-16 tahun, sedangkan masa remaja akhir 17-18
tahun.
Berdasarkan
berbagai pendapat di atas maka dalam penelitian ini subjek yang dipakai adalah
remaja awal yang masih berusia 13 sampai 20 tahun.
2.2
Definisi Kenakalan Remaja
Kenakalan
remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa
Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik
pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkandelinquent berasal
dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang
kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile
delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan
anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak
dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu
pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima
sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2003:78).
Kenakalan
remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya
dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini
dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Kenakalan remaja
adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan
tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.
Sarwono (2002:167) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang
dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang
melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman. Kenakalan remaja
sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana. sedangkan
Helmi dan Ramdhani (1992: 12) menyebutkan bahwa kenakalan remaja
suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Tambunan juga menambahkan kenakalan
remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Dari
pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan
remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang
melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap
dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun.
2.3
Definisi Keharmonisan Keluarga.
Keluarga
merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan
keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung
jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak manusia
(Kartono, 2003:34). Sedangkan menurut Hawari (1997:87) keharmonisan keluarga
itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam keluarga itu
dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam
keluarga itu akan dapat diciptakan.
Dalam
kehidupan berkeluarga antara suami istri dituntut adanya hubungan yang baik
dalam arti diperlukan suasana yang harmonis yaitu dengan menciptakan
saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga, saling menghargai dan saling
memenuhi kebutuhan. Basri (1999:213) menyatakan bahwa setiap orangtua
bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan
dan terpelihara suatu hubungan antara orangtua dengan anak yang baik, efektif
dan menambah kebaikan dan keharmonisan hidup dalam keluarga, sebab telah
menjadi bahan kesadaran para orangtua bahwa hanya dengan hubungan yang baik
kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang
terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis. Selanjutnya Hurlock (1973)
menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan orangtuanya bahagia akan
mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup
karena makin sedikit masalah antar orangtua, semakin sedikit masalah yang
dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh
kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga ynag tercipta adalah tidak
menyenangkan, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena
secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota
keluarga untuk bertengkar dengan lainnya.
Dari
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan persepsi keharmonisan keluarga
adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya
tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai,
saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan
rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang
secara seimbang.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga
a.
Komunikasi interpersonal
Komunikasi
interpersonal merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga,
karena komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat dan
pandangannya, sehingga mudah untuk memahami orang lain dan sebaliknya tanpa
adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman
yang memicu terjadinya konflik.
b.
Tingkat ekonomi keluarga.
Menurut
beberapa penelitian, tingkat ekonomi keluarga juga merupakan salah satu faktor
yang menentukan keharmonisan keluarga. Jorgensen (dalam Kartono 2003:56)
menemukan dalam penelitiannya bahwa semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan
mendukung tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga, tetapi tidak berarti
rendahnya tingkat ekonomi keluarga merupakan indikasi tidak bahagianya
keluarga. Tingkat ekonomi hanya berpengaruh trerhadap kebahagian keluarga
apabila berada pada taraf yang sangat rendah sehingga kebutuhan dasar saja
tidak terpenuhi dan inilah nantinya yang akan menimbulkan konflik dalam
keluarga.
c.
Sikap orangtua
Sikap
orangtua juga berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutama hubungan
orangtua dengan anak-anaknya. Orangtua dengan sikap yang otoriter akan membuat
suasana dalam keluarga menjadi tegang dan anak merasa tertekan, anak tidak
diberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya, semua keputusan ada ditangan
orangtuanya sehingga membuat remaja itu merasa tidak mempunyai peran dan merasa
kurang dihargai dan kurang kasih sayang serta memandang orangtuanya
tidak
bijaksana. Orangtua yang permisif cenderung mendidik anak terlalu bebas dan
tidak terkontrol karena apa yang dilakukan anak tidak pernah mendapat bimbingan
dari orangtua. Kedua sikap tersebut cenderung memberikan peluang yang besar
untuk menjadikan anak berperilaku menyimpang, sedangkan orangtua yang bersikap
demokratis dapat menjadi pendorong perkembangan anak kearah yang lebih positif.
d.
Ukuran keluarga
Menurut
Kartono (2003:67) dengan jumlah anak dalam satu keluarga cara orangtua
mengontrol perilaku anak, menetapkan aturan, mengasuh dan perlakuan efektif
orangtua terhadap anak. Keluarga yang lebih kecil mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk memperlakukan anaknya secara demokratis dan lebih baik untuk kelekatan
anak dengan orang tua
3.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja
Faktor-faktor
kenakalan remaja menurut Tambunan mengatakan bahwa lebih rinci
dijelaskan sebagai berikut :
a.
Identitas
Menurut
teori perkembangan yang dikemukakan oleh Simanjuntak (1984:237) masa remaja ada
pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus di atasi.
Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi
terjadi pada kepribadian remaja:
a.
terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan
b.
tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi,
nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut
dari remaja. Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai
dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan
aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa
balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai
peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu
memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan memiliki
perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dariremaja ini mungkin akan
mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson,
kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun
identitas tersebut negatif.
b.
Kontrol diri
Kenakalan
remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol
diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan
kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses
pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku
yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja
yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal
membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau
mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun
gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk
membimbing tingkah laku mereka. Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini
Simanjuntak (1984:78) menunjukkan bahwa ternyata kontrol
diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh
orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten,
berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan
diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut
internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
c.
Usia
Munculnya
tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius
nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku
seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian
dari McCord (dalam Kartono, 2003:72) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa,
mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya.
Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai
23 tahun.
d.
Jenis kelamin
Remaja
laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan.
Menurut catatan kepolisian Kartono (2003: 81) pada umumnya jumlah remaja
laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali
lipat daripada gang remaja perempuan.
e.
Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja
yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap
pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat
untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah
cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Pengaruh
orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik
siswa menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak
mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan
antara kenakalan teman sebaya dan prestasi akademik.
f.
Proses keluarga
Faktor
keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya
dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak,
kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua
dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Pengawasan orangtua yang tidak
memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif
dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan
munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stressyang
dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga
termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu
besar.
g.
Pengaruh teman sebaya
Memiliki
teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk
menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Simanjuntak (1984:54) terhadap 500 pelaku
kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan
persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan
reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.
h.
Kelas sosial ekonomi
Ada
kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial
ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara
daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki
banyak privilege diperkirakan 50:1 (Kartono, 2003:56). Hal ini
disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah
untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat.
Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan
cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah
contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan
status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan
kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
i.
Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas
juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan
tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan
aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas
kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan,
pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah,
pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor-
faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling berperan
menyebabkan timbulnya kenakalan remaja adalah faktor keluarga yang
kurang harmonis dan faktor lingkungan terutama teman sebaya yang kurang baik,
karena pada masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju teman
sebaya, sehingga minat, nilai, dan norma yang ditanamkan oleh kelompok lebih
menentukan perilaku remaja dibandingkan dengan norma, nilai yang ada dalam
keluarga dan masyarakat.
3.3
Hubungan Keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja
Kenakalan
remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku
menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena
terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari
nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai
sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan
konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur
baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti
telah menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada, perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, padahal ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada, perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, padahal ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun sangat beragam mulai dari perbuatan yang amoral dan anti sosial tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti; pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media-media masa.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orangtua sebagai figur tauladan bagi anak. Selain itu suasana keluarga yang meninbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja. Orangtua dari remaja nakal cenderung memiliki aspirasi yang minim mengenai anak-anaknya, menghindari keterlibatan keluarga dan kurangnya bimbingan orangtua terhadap remaja. Sebaliknya, suasana keluarga yang menimbulkan rasa aman dan menyenangkan akan menumbuhkan kepribadian yang wajar dan begitu pula sebaliknya
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
bahwa
remaja yang memiliki waktu luang banyak seperti mereka yang tidak bekerja atau
menganggur dan masih pelajar kemungkinannya lebih besar untuk melakukan
kenakalan atau perilaku menyimpang. Demikian juga dari keluarga yang tingkat
keberfungsian sosialnya rendah maka kemungkinan besar anaknya akan melakukan
kenakalan pada tingkat yang lebih berat.Sebaliknya bagi keluarga yang tingkat
keberfungsian sosialnya tinggi maka kemungkinan anak-anaknya melakukan
kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan khusus. Dari analisis statistik
(kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik kesimpulan umum bahwa ada
hubungan negatif antara keberfungsian sosial keluarga dengan kenakalan remaja,
artinya bahwa semakin tinggi keberfungsian social keluarga akan semakin rendah
kenakalan yang dilakukan oleh remaja.
4.2
Saran
Disarankan
kepada orangtua untuk dapat menjaga hubungan yang hangat dalam keluarga dengan
cara saling menghargai, pengertian, dan penuh kasih sayang serta tidak
bertengkar di depan anak, sehingga dapat dipersepsi anak sebagai keluarga yang
harmonis.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunarsa,
S. 1983. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Penerbit BPK Gunung
Mulia. Jakarta.
Kartono,
K. 2003. Patologi Sosial 2. Kenakalan Remaja. Jakarta:Rajawali Perss.
Asfriyati.
(2003). Pengaruh Keluarga Terhadap Kenakalan Anak. Digitized by USU
digital library.
Fiandari
& Santi. (2005). Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Sikap
Terhadap Seks Pranikah pada Remaja. Jurnal. Yogyakarta: Universitas
Wangsa Manggala Yogyakarta.
Maria,
U. (2007). Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri terhadap
Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar