BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan
karena tingginya permintaan akan produk peternakan. Usaha peternakan juga
memberi keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak
masyarakat di perdesaaan di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana usaha
lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber
pencemaran. Oleh karena itu, seiring dengan kebijakan otonomi, maka
pemgembangan usaha peternakan yang dapat meminimalkan limbah peternakan perlu
dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk menjaga kenyamanan permukiman
masyarakatnya. Salah satu upaya kearah itu adalah dengan memanfaatkan limbah
peternakan sehingga dapat memberi nilai tambah bagi usaha tersebut.
Kebijakan otonomi daerah perlu diantisipasi oleh aparat
pemerintah daerah, khususnya di kabupaten/kota yang menjadi ujung tombak
pembangunan, sehingga kabupaten/kota dapat berbenah diri dalam menggali segala
potensi baik potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia.
Dengan demikian potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di
daerah tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan
pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Kebanyakan
masyarakat yang berada di pedesaan semuanya menyatu dengan kegiatan-kegiatan
yang ada kaitannya dengan pertanian secara luas kerena memang itulah keahlian
mereka yang dapat digunakan untuk mempertahankan kehidupannya. Tidak heran
seorang petani selain mengolah sawahnya, mereka juga memelihara ternak misalnya
ternak bebek, ayam kampung atau yang sering dikenal ayam buras, ada juga yang
memelihara domba, kambing, sapi ataupun kerbau.
Dilain pihak krisis ekonomi yang telah melanda
bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberikan pelajaran yang
sangat berharga bagi kita semua, dimana betapa rapuhnya pondasi perekonomian
yang tidak dilandasi oleh potensi sumber daya lokal.
Sejauh
ini kebijakan pemerintah yang lebih berorentasi pada sistem pertanian
konvensional di mana banyak mengandalkan input produksi seperti pupuk organik
ataupun pestisida dalam jumlah tinggi untuk memacu target produksi. Dalam
kenyataan hal tersebut justru telah memberikan dampak negatif terhadap
ekosistem lahan pertanian yang ada sehingga lambat laun akan menurunkan
produktivitas pertanian dan akibatnya akan berdampak pada pendapatan dan
kesejahteraan petani. Namun pada kenyataannya sektor pertanian ternyata telah
mampu menunjukan ketangguhannya dalam mengahadapi badai krisis.
Negara
kita adalah negara agraris, di mana sebagian besar penduduknya mengandalkan
sektor pertanian, namun rata-rata kepemilikan penduduk atas lahan pertanian
kurang dari 0,3 hektar, terutama di pulau Jawa. Dari kondisi kepemilikan lahan
yang sempit ditambah dengan sistem pertanian yang masih mengandalkan input
produksi tinggi menyebabkan petani berada dalam lingkaran kemiskinan yang tiada
putus-putusnya. Petani dengan pendapatan rendah tidak akan mampu menabung,
1
meningkatkan
pendidikan dan keterampilan apalagi meningkatkan investasinya guna meningkatkan
produksi.
Dalam
keterbatasan yang dilematis tersebut diperlukan jalan keluar yang bijaksana
dengan membangun paradigma baru, yaitu sistem pertanian yang berwawasan
ekologis, ekonomis dan berkesinambungan, ini sering juga disebut sustainable
mix farming atau mix farming.
Sistem mix-Farming, ini diarahkan pada upaya
memperpanjang siklus biologis dengan mengoptimalkan pemanfaatan hasil samping
pertanian dan peternakan atau hasil ikutannya, dimana setiap mata rantai siklus
menghasilkan produk baru yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga dengan
sistem ini diharapkan pemberdayaan dan pemanfaatan lahan marginal di seluruh
daerah (kabupaten/kota) dapat lebih dioptimalkan. Hal tersebut dimaksudkan
untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam hal kecukupan pangan dengan cara
mengembangkan sistem pertanian yang terintegrasi misalnya tanaman pangan pakan
dan ternak, juga dapat memanfaatkan hasil samping atau hasil ikutan peternakan
seperti kompos (manure), dimana dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk
organik dan limbah pertaniannya dapat dipakai sebagai pakan ternak.
Sehubungan
hal tersebut di atas konsep pertanian masa depan harus dirumuskan secara komprehenship,
dimana dapat mengantisipasi berbagai tantangan, seperti pasar global dan
otonomi daerah, salah satu model yang dapat mengantisipasi tantangan pasar
global adalah pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan (sustainable
mixed –farming) dengan berbagai industri peternakan. Bagi masyarakat pedesaan
ternak-ternak seperti kerbau, sapi potong, sapi perah, kambing, domba, itik,
bebek ataupun ayam buras memilki peranan strategis karena ternak-ternak
tersebut dapat digunakan sebagai tabungan hidup, sumber tenaga kerja bagi
ternak kerbau dan sapi potong. Ternak juga dapat dipakai sebagai penghasil
pupuk organik dimana sangat baik untuk meningkatkan produksi pertanian, selain
itu ternak juga dapat dijadikan dalam meningkatkan status sosial.
Dalam presfektif ekonomi makro, peternakan merupakan
sumber pangan yang berkualitas, misalnya daging ataupun susu merupakan bahan
baku industri pengolahan pangan, di mana dapat menghasilkan abon, dendeng,
bakso, sosis, keju, mentega ataupun krim dan juga dapat menghasilkan
kerajinan-kerajinan kulit tanduk ataupun tulang. Jadi dari semua
kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan pertanian dan peternakan dapat
menciptakan lapangan kerja. Pembangunan pertanian dalam konteks otonomi daerah
yang disesuaikan dengan permintaan pasar global sehingga pengembangan sistem
pertanian terpadu sangatlah menjanjikan, meskipun tetap harus memperhatikan
aspek agro ekosistem wilayah dan sosio kultur masyarakatnya (Sofyadi, 2005).
Selama ini banyak keluhan masyarakat akan
dampak buruk dari kegiatan usaha peternakan karena sebagian besar peternak
mengabaikan penanganan limbah dari usahanya, bahkan ada yang membuang limbah
usahanya ke sungai, sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Limbah peternakan
yang dihasilkan oleh aktivitas peternakan seperti feces, urin, sisa pakan,
serta air dari pembersihan ternak dan kandang menimbulkan pencemaran yang
memicu protes dari warga sekitar. Baik berupa bau tidak enak yang menyengat, sampai
keluhan gatal-gatal ketika mandi di sungai yang tercemar limbah peternakan.
Berkenaan
dengan hal tersebut, maka upaya mengatasi limbah ternak yang selama ini
2
dianggap
mengganggu karena menjadi sumber pencemaran lingkungan perlu ditangani
dengan
cara yang tepat sehingga dapat memberi manfaat lain berupa keuntungan ekonomis
dari penanganan tersebut. Penanganan limbah ini diperlukan bukan saja karena
tuntutan akan lingkungan yang nyaman tetapi juga karena pengembangan peternakan
mutlak memperhatikan kualitas lingkungan, sehingga keberadaannya tidak menjadi
masalah bagi masyarakat di sekitarnya.
1.2. Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menelaah lebih jauh tentang pencemaran yang
diakibatkan oleh limbah usaha peternakan serta upaya penanganan yang dapat
dilakukan untuk mengatasinya.
1.3. Metode Penulisan
Penulisan
dilakukan secara diskriptif dengan mengambil bahan dari pustakan maupun dari
sumber lain yang berkaitan dengan judul makalah.
BAB II
LIMBAH TERNAK
2.1. Jenis Limbah Usaha Peternakan
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha
peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan
produk ternak, dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah
cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah,
bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari
species ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang
terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan
dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi,
kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak
perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi
menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000).
Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua
kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah
padat dan cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah
yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati,
atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang
berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari
pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas
atau dalam fase gas.
Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak
bagi lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak
ruminansia. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap
pemanasan global
3
dan
perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat. Apppalagi di
Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar
karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah
pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi dkk.,
2002).
2.2. Dampak Limbah Peternakan
Limbah
ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong
kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai
pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat
badannya 5.000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x
10 7 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan
secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan
air manure antara 27-86 % merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan
dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan
media yang optimal untuk bertelur lalat.
Kehadiran
limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran yaitu dengan
menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang paling
hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari
6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk
kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m3).
Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah
ternak ruminansia ialah meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai
polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat
menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya
proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses
nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya
kehidupan biota air (Farida, 1978).
Hasil penelitian dari limbah cair Rumah Pemotongan
Hewan Cakung, Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas
air menurun, yang disebabkan oleh kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas
kadar maksimum kriteria kualitas air. Selain itu adanya Salmonella spp. yang
membahayakan kesehatan manusia.
Tinja dan urine dari hewan yang tertular
dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya saja penyakit anthrax melalui
kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat tersebar melalui
darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Kasus anthrax
sporadik pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba
Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002).
4
BAB III
PENANGANAN LIMBAH PETERNAKAN
Limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kebutuhan, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada
ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial
untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti
protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba
atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat
dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media
pelbagai tujuan (Sihombing, 2002).
3.1. Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah
Sebagai
pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN,
vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat
makanan esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau
senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik untuk ternak. Untuk itu
pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak memerlukan pengolahan lebih
lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti sebagai bahan pakan
termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi secara anaerob.
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah,
telah diteliti menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang
ditambah bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% +
limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).
3.2. Pemanfaatan Sebagai Pupuk Organik
Pemanfaatan
limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat
dilakukan melalui pemanfaatan kotoran tersebut sebagai pupuk organik.
Penggunaan pupuk kandang (manure) selain dapat meningkatkan unsur hara pada
tanah juga dapat meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan memperbaiki
struktur tanah tersebut.
Kandungan Nitrogen, Posphat, dan Kalium sebagai unsur
makro yang diperlukan tanaman, tersaji dalam tabel berikut.
Kadar N, P dan K dalam Pupuk Kandang dari Beberapa Jenis Ternak
Jenis Pupuk Kandang
|
Kandungan (%)
|
||
N
|
P2O5
|
K2O
|
|
Kotoran Sapi
|
0.6
|
0.3
|
0.1
|
Sumber
: Nurhasanah, Widodo, Asari, dan Rahmarestia, 2013
5
Kotoran ternak dapat juga dicampur dengan bahan organik lain
untuk mempercepat proses pengomposan serta untuk meningkatkan kualitas kompos
tersebut .
3.3. Pemanfaatan Untuk Gasbio
Permasalahan
limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan
yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat
dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk
menghasilkan bahan bakar gasbio. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai
sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem
pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput
atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia,
khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan
hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32%
hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total
nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K .
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar
gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob,
dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2)
(Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran
4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900
kkal/m3. Produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak,
penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah
lima orang per hari.
Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada
situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap
pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan
bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek
menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer.
Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada
tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk
akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat,
propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida,
hidrogen dan amoniak.
Model
pemroses gas bio yang banyak digunakan adalah model yang dikenal sebagai
fixed-dome. Model ini banyak digunakan karena usia pakainya yang lama dan daya
tampungnya yang cukup besar. Meskipun biaya pembuatannya memerlukan biaya yang
cukup besar.
Untuk mengatasi mahalnya pembangunan pemroses biogas dengan model
feixed-dome, tersebut sebuah perusahaan di Jawa Tengah bekerja sama dengan
Balai Pengkajian dan Penerapan Teknolgi Ungaran mengembangkan model yang lebih
kecil untuk 4-5 ekor ternak, yang siap pakai, dan lebih murah karena berbahan
plastic yang dipendam di dalam tanah.
6
Di
perdesaan, gasbio dapat digunakan untuk keperluan penerangan dan memasak sehingga
dapat mengurangi ketergantungan kepada minyak tanah ataupun listrik dan
kayu
bakar. Bahkan jika dimodifikasi dengan peralatan yang memadai, biogas juga
dapat untuk menggerakkan mesin.
3.4. Pemanfaatan Lainnya
Selain
dimanfaatkan untuk pupuk, bahan pakan, atau gasbio, kotoran ternak juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar dengan mengubahnya menjadi briket dan kemudian
dijemur/dikeringkan. Briket ini telah dipraktekkan di India dan dapat
mengurangi kebutuhan akan kayu bakar.
Pemanfaatan
lain adalah penggunaan urin dari ternak untuk campuran dalam pembuatan pupuk
cair maupun penggunaan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar